RSS
Facebook
Twitter

11 Mei 2013

Mazhab Sejarah

Mazahab Sejarah dipelopori oleh Von Savigni. Mazhab ini sering juga disebut dengan historischrechtsshule. Mazahab ini sebagai reaksi terhadap hukum alam (hukum kodrat) yang berpandangan bahwa hukum kodrat itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi segala bangsa, tidak terikat tempat dan waktu.

Mazhab sejarah berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempat. Mazahab sejarah timbul sebagai reaksi terhadap semangat revolusi dan ekspansi Prancis.
Mazhab sejarah menitikberatkan pandangannya pada jiwa bangsa – volksgeist.

Bangsa di dunia ini beramacam-macam adanya, oleh karenanya jiwa dan kepribadiannya bermacam-macam pula. Jiwa bangsa menjelma dalam bahasa, adat kebiasaan, susunan kenegaraan dan hukum bangsa itu. Sebagaimana halnya bahasa, hukum tumbuh melalui suatu proses yang perlahan-lahan.

Hukum hidup dalam kesadaran bangsa, maka hukum berpangkal dalam kesadaran bangsa. Hukum bersumber pada perasaan keadilan yang naluriah yang dimiliki setiap bangsa. Namun tidak berarti bahwa jiwa setiap warga negara bangsa itu menghasilkan hukum, karena yang dapat berwujud hukum itu jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan berada dalam setiap individu dan menghasilkan hukum positif.

Timbulnya hukum positif tidak terjadi oleh akal mansia yang secara sadar memang menghendakinya, tetapi hukum positif itu tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa secara organik. Jadi tumbuh dan berkembangnya hukum itu bersama-sama dengan tumbuh dan berkembangnya suatu bangsa.

Tulisan ini saya ambil dari bahan ajar:
Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.

Sosiologi Hukum

Oleh: Prof. DR. Faisal A. Rani,S.H., M.H.

Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa objek telaah sosiologi hukum adalah hukum dari sisi tampak kenyataannya, yakni hukum sebagaimana dijalankan sehari-hari  oleh orang dalam kenyataan.

Maksudnya, yang dipelajari dalam disiplin ilmiah ini adalah kenyataan hukum dalam arti kenyataan kemasyarakatan berkenaan dengan adanya aturan hukum yang mencakup hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara hukum dan proses kemasyarakatan.

Jadi, di satu satu pihak mempelajari semua akibat, yang dimaksudkan maupun yang tidak dimaksudkan, yang diinginkan maupun yang tidak, yang ditimbulkan oleh kaedah hukum dalam kenyataan kemasyarakatan. Di lain pihak, semua akibat proses kemasyarakatan yang mendukung maupun melemahkan atau membelokkan proses pembentukan dan penerapan hukum.

Dengan demikian sosiologi hukum dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berdasarkan analisis teoretis dan penelitian empiris berusaha menetapkan dan menjelaskan pengaruh proses kemasyarakatan dan perilaku orang terhadap pembentukan, penerapan, yurisprudensi dan dampak kemasyarakatan antara hukum, dan sebaliknya pengaruh aturan hukum terhadap proses kemasyarakatan dan perilaku orang.

Satjipto Rahardjo, C.J.M. Schuit, P. Vinke dan sosiolog lainnya pada umumnya mengemukakan bahwa penelitian hukum secara sosiologis tentang sistem hukum, tentang lembaga hukum dan organisasi dengan jabatan yang ada di dalamnya, tentang yustiabel, tentang asas hukum, dan pengertian-pengertian fundamental dalam hukum.

Satjipto Rahardjo mengungkapkan 3 karakteristik sosiologi hukum:
Pertama, bertujuan memberikan penjelasan terhadap praktek hukum dengan menjelaskan mengapa praktek hukum itu demikian, apa sebabnya, apa faktor yang mempengaruhi, apa latar belakangnya, dan sebagainya. Dengan mengikuti Max Weber, penjelasan tentang perilaku orang berkenaan dengan berlakunya aturan hukum itu mencakup baik segi eksternalnya maupun segi internalnya (motif perilaku).
Kedua, sosiologi hukum selalu menguji kesahihan empiris aturan atau kenyataan hukum.
Ketiga, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, melainkan hanya memberi penjelasan apa adanya dalam kenyataan, dan demikian mendekati hukum dari segi objektivitas semata.
Bruggink mengemukakan adanya dua jenis (aliran, “stroming”) dalam sosiologi hukum, yakni:
  1. Sosiologi hukum empiris (erklaerende soziologie); 
Dengan bertolak dari titik berdiri eksternal dan mengacu kepada teori kebenaran korespondensi, mengkompilasi dan menata material objek-telaahnya (perilaku orang dan kelompok orang) untuk kemudian dengan metode kuantitatif menarik dari dalamnya kesimpulan2 tentang hubungan antara kaidah atau aturan hukum dengan hubungan kemasyarakatan.
Metode yang digunakan mendekati metode yang digunakan dalam ilmu alam. Tujuannya untuk menghasilkan produk penelitian semurni atau seobjektif mungkin, sehingga mampu menciptakan gambaran (deskriptif) setepat mungkin tentang kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya berfungsi aturan hukum positif. Produknya sedapat mungkin dituangkan ke dalam proposisi informatif yang terbuka untuk diverifikasi empiris. Penuangan ke dalam proposisi normatif atau evaluatif dihindari, karena dipandang non-kognitif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris sehingga tidak dapat digunkan dalam suatu teori empiris. Para sosiolog hukum empiris pada umumnya termasuk dalam aliran positivisme (aliran filsafat pengetahuan).
      2.  Sosiologi hukum kontemplatif (verstehende soziologie).
Dianut pendirian bahwa untuk dapat mengatakan sesuatu secara bermakna tentang masyarakat dan kaidah-kaidah hukum yang berperan penting di dalamnya, maka orang harus menjadi bagian dari masyarakat itu dan akrab dengan kaidah hukum yang berfungsi di dalamnya. Ini berarti bahwa penelitian sosiologis tentang hukum harus bertolak dari titik berdiri internal, yakni dari sudut perspektif partisipan pada masyarakat dan kehidupan hukumnya yang menjadi objek telaah.
Jenis sosiologi ini mengacu kepada teori kebenaran pragmatik. Produk penelitiannya dituangkan ke dalam proposisi baik informatif maupun normatif dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan produknya dikaji melalui diskursus intersubjektif.

Mazhab Sosiologis

Mazhab ini dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber, Hammaker. Hukum itu sebenarnya hasil pertentangan-pertentangan dan hasil perimbangan antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi sosial, perkembangan ekonomi, dan pertentangan serta pertimbangan kepentingan-kepentingan golongan atau kelas dalam masyarakat.

Ilmu hukum tidak dapat hanya berdasarkan analisa logika saja terhadap kaedah hukum, melainkan juga harus menggunakan pendekatan secara sosiologis. Sosiologi adalah ilmu pengtahuan yang menyelediki hubungan antara gejala masyarakat yang satu dg gejala masyarakat yang lain. Sedangkan ilmu hukum menurut mazhab sosiologis, adalah memberikan suatu gambaran tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat. Jadi hukum adalah gejala masyarakat.

Hukum bukan norma tetapi kebiasaan manusia yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya di dalam masyarakat. Maka dengan demikian hukum itu merupakan fakta atau petunjuk yang mencerminkan kehidupan masyarakat. Guna memahami kehidupan hukum dari suatu masyarakat maka seorang ahli hukum harus mempelajari perundang-undangan, keputusan pengadilan dan kenyataan sosial.

Hukum itu tidak  perlu diciptakan oleh negara, karena hukum sebenarnya tidak merupakan pernyataan-pernyataan tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan golongan dalam masyarakat. Hakim bebas dalam menggali sumber-sumber hukum yang terdapat dalam masyarakat, yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat. Oleh karenanya mazhab sosiologis disebut juga mazhab hukum bebas  atau freie rechtsschule.

Menurut Eugen Ehrlich, berlakunya hukum tergantung pada penerimaan masyarakat, dan sebenarnya tiap masyarakat menciptakan sendiri hukumnya yang hidup. Daya kreativitas masing-masing golongan berbeda dalam penciptaan hukumnya. Dari kenyataan tersebut, faktor masyarakat sangat penting untuk mengetahui efektifitas hukum dalam masyarakat. 

Menurut Leon Duguit, berlakunya hukum itu sebagai suatu realita bahwa ia diperlukan oleh manusia yang secara bersama hidup dalam masyarakat. Hukum bukan tergantung pada kehendak penguasa melainkan tergantung pada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari para anggota masyarakat untuk mentaati hukum. Suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif.

Menurut Duguit, pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum, karena pembentuk undang-undang tugasnya hanya mentransformasikan saja hukum yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.

Tulisan ini saya ambil dari bahan ajar:
Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.

Hukum Alam

Keadilan (gerechtigheid, rechtvaardigheid) menunjuk pada pertimbangan nilai yang sangat subjektif. Terdapat hubungan dan kerja timbal balik antara yang subjektif dengan yang lain yang bermacam-macam yang kurang subjektif seperti “sesuai dengan hukum” dan “sesuai dengan undang-undang”.

Suatu pertimbangan keadilan (menurut N.E. Algra, dkk) berisi suatu pandangan yang pada dasarnya berwarna pribadi terhadap sesuatu yang seharusnya menurut hukum. Pertimbangan keadilan, suatu katagori pertimbangan nilai khusus – “pertimbangan yang seharusnya” – yang tidak hanya meletakkan suatu claim (tuntutan) terhadap tingkah laku sendiri melainkan juga terhadap orang lain.

Keadilan adalah persoalan kita semua dan dalam suatu masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk “melayani” itu. Orang tidak boleh bersikap netral, apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.
Sekarang kita berada dalam masa sesudah Ausklarung – Immanuel Kant disifatkan: “Ausklarung adalah pembebasan manusia dari ketidakcakapannya berbuat, yang disebabkan kesalahannya sendiri” – sebagai “ketidakmampuannya untuk mempergunakan akalnya tanpa pimpinan orang lain.”

Ausklarung – sesungguhnya berarti bahwa setiap orang pada dasarnya boleh memilih nilai dan cita-citanya sendiri dan tidak usah lebih lama menyesuaikan diri dengan pemikiran dan skala nilai yang dipaksakan padanya.

Pemikiran hukum dari jaman sebelum Ausklarung terutama di Eropah Barat sangat dikuasai oleh kepercayaan akan adanya suatu hukum yang abadi dan tidak berubah, yang berlaku untuk semua jaman dan semua tempat. Karena pengaruh Ausklarung – maka keyakinan tentng hukum yang universal mulai mundur.

Hukum yang universal, dan tidak kenal batas waktu dan tempat itu, hukum dulu dan sekarang adalah hukum alam – orang melihatnya sebagai hukum ideal dan sering dibedakan dari hukum yang berlaku, hukum positif. Dengan demikian maka diciptakan suatu perlawanan: hukum alam (yang sempurna) terhadap hukum positif
Tentang nama - dalam “alam” orang melihat sesuatu yang asli, yang tidak disalurkan, yang sebenarnya sebagai lawan dari “positif”, yang dibuat, yang tidak asli.

Manusia seharusnya berusaha supaya hukum positif sebanyak mungkin mendekti hukum alam yang ideal. Dalam pandangan ini, hukum alam itu seyokyanya menjadi pedoman bagi mereka, yang berhak menentukan bagaimana seharusnya bunyi hukum yang berlaku itu.
Mereka seharunya menemukan hukum alam itu, memperlihatkan peraturan apa yang terkandung di dalamnya, hal mana dianggap mungkin, sebab hukum alam itu dilihat sebagai hukum yang terletak di suatu tempat dan waktu.

Cicero dalam De Republica III – suatu UU yang benar adalah akal yang murni, yang selaras dengan alam, tersebar dalam semuanya, tetap dan abadi. Menurutnya hanya ada satu undang-undang yang tak berubah dan berlaku untuk semua bangsa dan segala zaman, dan hanya ada satu tuan dan peraturan untuk kita semua, yaitu Tuhan, sebab Ia adalah pembuat undang-undang ini (hukum alam), dan yang mengumumakaannya serta hakim yang mempertahankannya. Hukum alam merupakan suatu batu ujian untuk hukum positif.

1. Rasionalis-Thomas Aquino (1226-1274)

Rasionalisme atau nasionalistis  yang menonjol didalam pandangan ini adalah adanya dugaan  bahwa di atas hukum positif terdapat hukum yang lebih tinggi lagi, yang dengan bantuan akal (rasio) dapat diselidiki dan yang harus dapat menjadi pedoman bagi “pembentuk hukum” dan sebagai suatu batu ujian bagi hukum yang berlaku.
Hukum yang lebih tinggi itu – janganlah kita berfikir pada peraturan yang tersedia yang langsung dapat diterapkan, hal ini lebih banyak merupakan asas hukum dari pada aturan hukum.
Contoh dari prinsip yang ditimbulkan dari hukum alam adalah:
o   janji harus ditepati;
o   barang-barang harus mempunyai pemilik;
o   setiap orang hendaknya menerima dan mempertahankan bagiannya.

Thomas Aquino melihat manusia itu primer sebagai pemikir, makhluk yang diberkahi akal. Thomas mencoba mendamaikan wahyu Ilahi dengan kebenaran yang timbul dari akal – mencoba membuat sintese antara iman dan akal, anugerah dan alam.

Dengan “akal” (Latin: ratio, Prancis: raison, Jerman: Vernunft)  yang biasanya dalam filsafat dimaksud sesuatu yang “lebih tinggi” dari pada “pikiran”. Jika pikiran mengarah pada pengetahuan dan pandangan, maka akal membawa pikiran manusia pada jalan baru, penemuan, membawa untuk mengadakan kombinasi dan deduksi, sehingga sampai kepada pembagian baru. Akal itu biasanya dilihat sebagai “tanda hakiki” dari manusia.

Thomas berjasa memberikan tempat tersendiri kepada akal, berdasarkan sifatnya sendiri yang berbeda daripada sifat kepercayaan. Ia memberikan “sinar hijau” kepada akal sepanjang ia mau menundukkan diri di bawah pengawasan dari kepercayaan. Akal dan kepercayaan termasuk dua bidang yang berlainan.
Kebenaran Ilahi sesungguhnya berdasarkan atas wahyu adalah benar karena Tuhan menyatakannya tetapi kebenaran ilmiah berdasarkan pengamatan.

Tiga Leges:
  •  Lex Aeterna – hukum abadi. Tuhan sesungguhnya menciptakan manusia menurut gambarannya dan oleh sebab itu dalam pembawaan manusia terdapat suatu pencerminan, (seolah-olah suatu tindakan, cetakan, stempel) dari Lex Aeterna itu.
  • Cetakan, stempel ini oleh Thomas disebut Lex Naturalis – hukum alam. Lex ini mengajarkan kepada manusia perbedaan antara baik dan buruk, berbuat yang baik dan meninggalkan yang buruk. Itulah satu-satunya peraturan yang tepat, yang berasal dari hukum alam; untuk selebihnya hukum ini memberi kepada manusia hanya petunjuk, bagaimana seharusnya rupa hukum itu.


Indikasi semacam itu antara lain:
o   Nafsu yang diberikan alam untuk mempertahankan diri, yang sama-sama dimiliki manusia dan segala makhluk hidup lainnya; dari sini manusia menyimpulkan dengan akalnya peraturan yang lebih konkret, seperti larangan membunuh.
o   Nafsu untuk berkembang biak dan memelihara kerukunan yang dimiliki oleh manusia dan binatang; dari ini manusia dengan akalnya menyimpulkan peraturan perkawinan, kekuasaan orang tua, kewajiban anak untuk menghormati orang tua; dan
o   Alam manusia yang khas, berdasarkan mana ia mencari kebenaran (Ilahi), usaha menuntut ilmu, keinginan untuk hidup bersama orang lain. Karena itu masuk akal bahwa manusia tidak boleh merugikan orang lain, bhw manusia harus menempati janjinya dan sebagainya.
  • Lex Humana atau hukum manusiawi, hukum positif yang berlaku. Hukum ini seyokyanya merupakan penjelmaan yang konkret dari dasar yang dihasilkan oleh Lex Naturalis.
         Dari Lex naturalis dapat disalurkan lex humana:
o   Langsung – suatu aturan disalurkan langsung dari aturan hukum alam, misalnya larangan mencuri yang langsung disimpulkan dari dari tidak boleh merugikan sesama manusia. Ini merupakan metode yang biasa dipergunakan dalam ilmu dengan menarik suatu kesimpulan (conclusio) dari premis (dalil yang tersedia).
o   Tidak langsung (indirect) – pihak yang menciptakan mengerjakan dasar hukum alam itu menjadi peraturan, sama seperti arsitek, bertitik tolak dari suatu pemikiran yang global, mengerjakan lebih lnanjut menjadi suatu gambar. Demikian, dari peraturan “jangan berbuat jahat terhadap sesamanya” orang dapat sampai kepada suatu peraturan yang menentukan pembunuhan harus dihukum sedang sifat hukuman itu juga hanya dapat diturankan secara tidak langsung melalui metode – determinatio.
Melengkapi  hukum manusiawi itu boleh juga diperluas, tanpa menimbulkan ketentuan itu secara langsung atau tidak langsung dari lex naturalis (tidak boleh bertentangan dengan lex naturalis). Inilah yang disebut metode additio


    2. Voluntaris-Thomas Hobbes (1588-1679)

Jika rasionalis bertolak dari rasio (akal) sebagai sumber pengenal daru hukum alam, maka para voluntaris menerima voluntas (kemauan) sebagai sumber hukum. Dari itu keluarlah pendapat yang sangat berlainan mengenai hukum alam– Kemauan raja adalah UU. Menciptakan hukum dalam pandangan ini bukanlah “pekerjaan berpikir”, tetapi “memerintah”.

Yang penting di sini adalah perintah yang diberikan itu harus dikerjakan, misalnya “Kamu tidak boleh mencuri”. Dengan perintah semacam itu sebagai titik tolak, selanjutnya dengan bantuan akal orang dapat menguraikan norma yang diberikan itu. Sebaliknya pada rasionalis, norma itu dikonstruksikan melalui jalan pikiran: akallah yang utama (premair) dan aturan yang kedua (secondair).

Jika rasionalis dapat mengarah kepada usaha kritis “pembuat hukum”, maka para voluntaris sebaliknya biasanya memperkuat hukum yang berlaku dengan pendapat mereka. Sesungguhnya perintah itu merupakan suatu dalil (aksioma) yang tak dapat dilanggar, terhadap mana alasan berdasarkan “akal” tidak dapat menandinginya.

Sebagian besar voluntaris – ketertiban alamiah itu menuntut adanya suatu pemerintah, yang memandang sebagai tugas alamiahnya, menciptakan hukum dan mempertahankannya.

Menurut Lon L. Fuller inti dari manusia bukanlah akalnya dan juga bukan kemauannya, tetapi kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain. Dengan demikian tingkah laku manusia dapat dikemudikan dan apakah hal itu akan berhasil tergantung dari ketrampilan mengemudi dari orang yang menyusun aturan itu.
      
      3. Teknologis-Lon L. Fuller

Teknologis – “jus est ars” – pembuatan hukum itu adalah suatu ketrampilan. Para Teknolog – isi hukum ditempatkan dibelakang; bagi mereka hukum yang baik adalah hukum yang timbul menurut aturan kesenian.
Untuk pembentukannya berlaku berbagai desiderata (cita-cita, keinginan), seperti suatu undang-undang haruslah jelas, tidak berlaku surut, dan sebagainya. Salah seorang wakil modern aliran ini Lon L. Fuller.

Oleh: Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.

Legisme (Hukum) dan Positivisme Hukum (Hukum Positif)

Oleh: Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.

Legisme harus dibedakan dengan positivisme hukum. Para ahli positivisme hukum tidak membatasi diri sebagaimana para ahli hukum (legisten) pada hukum undang-undang (wetenrecht). Kebiasaan, adat istiadat yang baik, pendapat masyarakat bagi para ahli positivisme hukum dapat berfungsi sebagai sumber hukum.

Para positivisme hukum memang berpendapat bahwa ahli hukum pada karya ilmiahnya itu harus membatasi diri pada hukum positif atau hukum yang berlaku, dan tidak boleh berorientasi pada hukum kodrat atau hukum yang lebih tinggi, sebagaimana dilakukan oleh penganut hukum alam.

Bagi positivisme hukum mungkin terdapat sesuatu semacam keadilan, yang berpengaruh atas hukum yang berlaku, tetapi itu bukanlah tugas dari sarjana hukum untuk menggunakan pendapat pribadinya mengenai hal itu dalam karya ilmiahnya, itu merupakan tugas bidang ahli kesusilaan, politik dan sarjana teologi.

Dalam pandangan positivisme hukum, seseorang boleh mempercayai sesuatu hukum yang lebih tinggi pada keadilan, tetapi tidak boleh mencampurkan kepercayaan itu dalam pelaksanaan hukum. Dalam stelsel hukum abad ke 19 dan 20, pendapat hukum ini menuju kepadaa akibat bahwa yang dapat dipelajari sebagai hukum, hanyalah apa yang oleh negara diumumkan atau diakui sebagai hukum.

Dalam bentuknya yang paling murni para ahli positivisme hukum itu adalah suatu aliran dalam ilmu pengetahuan hukum yang ingin memahami hukum (yang berlaku) itu semata2 “dari dirinya sendiri” dan menolak putusan nilai mengenai peraturan hukum.

Positivisme hukum banyak variasinya. Suatu aliran yang paling tua dari Positivisme Hukum salah satunya adalah teori perintah, tokohnya John Austin hukum itu dilihat  sebagai perintah (commands) dari pemerintah. Kemudian muncul teori sistem (systeemtheorieen) yang menolak teori perintah (bevelstheorie) itu, dengan alasan bahwa semata-mata perintah dari penguasa itu belumlah cukup mereka yang menerima perintah itu harus merasa berkewajiaban (bukan semata-mata dipaksa) untuk mengikuti perintah itu. Teori sistem adalah aliran yang paling penting dalam positivisme hukum.

Intinya bahwa hukum adalah suatu stelsel dari aturan yang berkaitan satu sama lain secara oranganis, secara piramida dari norma yang terbentuk secara hirarkhis. Sistem ini adalah sistem tertutup artinya di luar itu tidak ada hukum.

1.  Hans Kelsen (1881-1973)

Hukum merupakan wakil yang paling terkenal  dari positivisme hukum namanya berkaitan dengan ajaran hukum murni (reine rechtslehre). Hukum merupakan alat pengikat yang paling penting, hukum itu harus merupakan suatu hukum, yang dapat berlaku bagi orang Islam, Kristen, orang Turki, Hongaria, Austria, harus suatu hukum yang dimurnikan dari berbagai unsur seperti agama, politik, sejarah, sosiologi, etik, ekonomi, dan sebagainya.

Reine rechtslehre – murni di sini mempunyai dua arti, pertama murni secara metodelogis artinya memakai metode sendiri dari ilmu pengetahuan normatif; dan kedua dimurnikan dari segala unsur yang non yuridis.
    • Sein dan Sollen
Ilmu pengetahuan hukum itu menurut pandangan neo-positivis bukanlah ilmu pengetahuan, karena ia    bergerak dalam bidang “yang seharusnya” ia mempunyai norma sebagai objek. Ilmu pengetahuan neo-positivis hanya dapat menyibukkan diri dengan fakta yang ada, yang dapat diverifikasi hanya sesuatu yang “ada” yang dapat diverifikasi bukan “yang seharusnya”.

Kelsen bertitik tolak dari pemisahan yang ketat antara “ada” (Sein) dan “seharusnya” (Sollen). Ia meneliti bidang sollen itu secara ilmu pengetahuan. Kelsen tidak menjadikan hal alamiah (fakta) itu sebagai objek penelitian hukum, melainkan peraturan mengenai yang seharusnya (norma-norma).
Sein yang dimaksudkan Kelsen bukanlah “ada” tetapi “berlaku” sesuatu norma itu berlaku atau tidak berlaku. Jadi dalam bidang “seharusnya” (Sollen) itu hanya dapat diajukan pertanyaan mengenai “berlakunya”, tidak mengenai “adanya” (Sein) suatu norma.                
Menurut Kelsen, Sein dan Sollen termasuk dua dunia yang berbeda sama sekali, masing-masing tunduk pada aturannya sendiri. Dunia Sein berlaku aturan kausal (sebab-akibat): A adalah akibat dari B; sebaliknya dalam dunia Sollen berlaku aturan pertanggungjawaban (istilah Kelsen): Jika A terjadi, maka seharusnya B terjadi.
Ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuna normatif dari masyarakat dengan demikian memerlukan suatu metode sendiri yang tidak diarahukuman menyelidiki hubungan sebab-akibat, (seperti ilmu alam, sosiologi), tetapi diarahukuman untuk menyelidiki hubungan pertanggungjawaban. Dengan cara demikian, Kelsen berusaha mencapai kemurnian metode.
    • Stufenbau
Sesuatu aturan berlaku, kata Kerlsen, karena aturan itu berlandaskan pada aturan yang lain, yang lebih tinggi; dan aturan yang lebih tinggi itu pada gilirannya berlandaskan pada aturan yang lebih tinggi lagi (stufenbau).
Jika diteruskan demikian, maka akhirnya kita akan tiba pada aturan yang tertinggi, yakni Grundnorm (norma dasar), yang tidak dapat dialihukuman kepada aturan lain, yang lebih tinggi.


2. H.L.A. Hart
  
Hart juga melihat hukum itu sebagai stelsel norma dengan suatu aturan dasar, yakni ultimate rule of recognition. Pada Hart, ultimate rule of recognition tidak sebagaimana Kelsen yang merupakan suatu aturan hipotetis yang dianggap demikian, tetapi suatu “fakta”, yang dapat diselidiki secara empiris.
Misalnya di Inggris “Apa yang diperbuat Ratu di Parlemen secara resmi adalah hukum” – aturan ini bukan merupakan dasar suatu sistem hukum karena ia “berlaku”, melainkan karena orang menyesuaikan diri padanya.

Dengan demikian bagi Hart “berlakunya” ultimate rule of recognition itu karena ia “ada” dan diterima dalam hidup masyarakat itu. Hart tidak sebagaimana Kelsen – bahwa Grundnorm itu sebagai norma terakhir hanyalah mempunyai keberlakuan hipotetis, yang dianggap demikian.
Ultimate rule of recognition tergantung dari stelsel norma di mana ia merupakan norma tertinggi – sebaliknya pada Kelsen, norma yang tertinggi itu sebenarnya senantiasa mempunyai isi yang sama: “Bertingkah lakulah, sebagaiman ditentukan oleh konstitusi negaramu”.
    • Primary Rule dan Secondary Rule
Titik tolak Hart adalah teori perintah (cammand-theorie) dari Austin. Dalam teori perintah pada hakekatnya berintikan bahwa hukum itu adalah merupakan suatu rangkaian perintah dari pemerintah. Menurut Hart, aturan hukum disamping sebagai perintah, juga menciptakan kewajiban dari warga untuk mematuhi aturan itu.
Dengan apakah sebenarnya keberlakuan aturan itu harus diukur? “Berlaku sah” dalam hubungan ini sesungguhnya berarti berlaku menurut aturan tertentu. Untuk itu Hart membagi aturan hukum dalam dua kelompok yaitu primary rule dan secundary rule.
Secundary rule yaitu mengatur persolan keabsahan suatu aturan, yang tidak memberikan ketentuan “ini boleh” – “ini tidak boleh dikerjakan” – tetapi memberikan wewenang kepada yang berwajib, yang telah mengadakan spesialisasi dalam pemeliharaan hukum – yang seolah-olah merupakan suatu oranganisasi yang memberikan struktur dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum. 

Hart membedakan 3 macam secondary rule:
  1. Keragu2an mengenai isi hukum dapat diatasi dengan aturan pembantu mengenai pengakuan (secondary rule of recognition), yang menyatakan keabsahan aturan primer.
  2. Kekakuan hukum dapat hilang apabila terdapat persesuaian mengenai aturan pembantu untuk perubahan hukum (secondary rule of change). Ditetapkan prosedur untuk pembentukan aturan hukum.
  3. Ketidkmampuan hukum dapat diatasi dengan pembentukan badan, yang menetapkan apabila suatu aturan dibatalkan dan pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh badan yang pertama diserahukuman kpada badan lain. Inilah aturan pembantu untuk membentuk pejabat kehakiman (secondary rule of adjudication).

10 Mei 2013

Legal Realism; the Law in action

Realisme hukum menyelidiki keputusan pengadilan sebagai objek, mencoba menemukan faktor apa ikut berperan dalam pemberian keputusan, memeriksa apa akibatnya, dan mencoba meramalkan bagaimana pengadilan akan mengambil keputusan di kemudian hari.

Tokoh aliran ini antara lain:
  1. Roscoe Pound, dan
  2. Jerome Frank. 
  3. Oliver Wendel Holmes
Holmes – hakim MA AS – menentang pendapat bahwa hakim itu semacam otomat, yang pekerjaannya tidak lain daripada menerapkan aturan hukum (yang telah tetap) pada kejadian yang di bawa ke hadapannya. Hukum bukanlah suatu stelsel yang logis, seperti misalnya ilmu pasti. Mungkin kelihatannya hakim itu merapkan hukum secara mekanis, tetapi dalam kenyataannya di samping itu turut berperan berbagai motif lain.

Pendapat Holmes itu dilanjutkan oleh Pound – yang melihat social engineering itu sebagai persoalan pokok dari hukum – hukum adalah sebagai alat yang diciptakan sendiri oleh manusia untuk kebahagiaan masyarakatnya – ia seyogyanya menjaga keseimbangan antara berbagai kepentingan (publik, sosial, privat).


Tugas pokok daripada yuris adalah menimbang terus-menerus berbagai kepentingan yang memainkan peranan dalam perlindungan sosial, dengan tujuan tercapainya hidup bermasyarakat yang sebaik-baiknya.

Untuk itu diperlukan suatu penelitian sosiologis yang luas – dengan itu maka hakim dapat mencari penyelesaian yang baik dilihat dari sudut masyarakat.

Jerome Frank – yang merupakan “enfant terrible” dari pada yuris Amerika – dengan tajam membenci mitos yang masih tetap berlaku mengenai kepastian – orang Amerika rata-rata akan melihat hakim itu sebagai ayahnya, yang memberikannya kepastian, yang diperlukannya dalam kekanak-kanakannya (infantiliteit).

Oleh: Prof. DR. Faisal A. Rani, S.H., M.H.

Eksistensi Sanksi

Sebagian besar teori hukum menyatakan baik secara eksplisit maupun inplisit bahwa yang membedakan norma hukum dan norma-norma lain adalah pada norma hukum dilekatkan suatu paksaan atau sanksi. Pandangan demikian merupakan karakteristik dari kaum positivis. Menurut positivis, unsur paksaan dikaitkan dengan pengertian tentang hirarkhie perintah secara formal.

Sejak adanya negara nasional, ahli hukum mulai dari Thomas Hobbes, John Austin, Hans Kelsen dan Samlo memandang esensi hukum dalam struktur piramidal kekuasaan negara. Hart juga memandang hukum sebagai perintah dan menempatkan sanksi sebagai sesuatu yang memang melekat pada hukum.

Menurut Hart, hukum lebih mendekati gagasan perintah atasan terhadap bawahan daripada ancaman disertai ancaman sebagaimana pada penodongan senjata. 

Karakter hukum menurut Hart, pertama, kontrol hukum itu bersifat umum. Ciri yang kedua, adanya “standing orders”, suatu perintah dari waktu ke waktu. Hal ini yg membedakan dengan penodongan. Karakter ketiga hukum, adanya perintah itu dibuat oleh suatu kekuasan yang mempunyai supremasi dan kekuasaan tersebut bersifat merdeka, artinya tidak tunduk kepada “a general habit of disobedience”

Van Apeldoorn menyatakan dengan tegas bahwa sanksi bukan elemen yang esensial dalam hukum, melainkan elemen tambahan. Menurutnya ajaran yang menyatakan bahwa ciri hukum terletak pada sanksi adalah sesuatu yang kontradiktif terhadap dirinya sendiri.

Apeldoorn juga menyatakan, hukum suatu negara dalam banyak hal merupakan penuangan asas-asas dan norma-norma agama, moral, dan sosial yang didukung kesadaran masyarakat. 
Suatu pandangan yang hanya melihat bahwa tertib hukum merupakan suatu organisasi paksaan, menyamakan hukum dengan aturan-aturan yang dibuat oleh sekawanan gangster

Pandangan demikian, tidak mengakui arti penting moral masyarakat tempat hukum itu bersandar bagi interaksi sosial dan tidak melihat kenyataan bahwa hukum dituangkan ke dalam aturan-aturan secara sukarela tanpa menggunakan paksaan fisik.
Apeldoorn – di dalam kata recht dalam bahasa Belanda itu sendiri sudah terlihat penekanan pada moral, yaitu rechtvaardig (adil). 
Selanjutnya Apeldoorn – pada undang-undang kuno Anglo-Saxon, kata right bukan sekedar diartikan recht (hak), melainkan juga rechtvaardig (adil).

Oleh: Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.

Civil Law dan Common Law

Oleh: Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.


Sejak abad pertengahan sampai dengan abad XII, hukum Inggris dan Eropah Kontinental masuk dalam sistem hukum yg sama, yaitu hukum Jerman, yang bersifat feodal baik substansinya maupun prosedurnya. Satu abad kemudian, hukum Romawi yang merupakan hukum materiil dan hukum kanonik sebagai hukum acara telah berubah kehidupan di Eropah Kontinental.

Di Inggris terluput dari pengaruh tersebut, dan masih berlaku hukum asli rakyat Inggris. Saat dikatomi itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Henry II. Sistem yang dianut oleh negara-negara Kontinental yang didasarkan atas hukum Romawi disebut dengan sistem “civil law”.
Disebut demikian karena hukum Romawi pada mulanya bersumber pada karya Kaisar Iustinianus “Corpus Iuris Civilis”. Sedangkan sistem yang berkembang di Inggris karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris disebut “Common Law”.

Civil Law dianut oleh negara-negara kontinental sehingga kerap disebut juga “sistem kontinental”. Sebaliknya, common law dianut oleh suku Anglika dan Saksa yg mendiami sebagian besar Inggris sehingga disebut juga sistem Anglo-Saxon. Suku Scott yang mendiami Skotlandia tidak menganut sistem hukum ini, meskipun berada di tanah Inggris mereka menganut civil law.

Negara-negara bekas jajahan negaranegara Eropah Kontinental menganut sistem civil law. Negara-negara berbahasa Inggris yg merupakan bekas jajahan Inggris menganut common law.  Akan tetapi Amerika Serikat yang merupakan bekas jajahan Inggris mengembangkan sistem yang berbeda dan berlaku di Inggris, meskipun masih dalam kerangka common law, yang sering disebut Anglo-American, terutama hukum ekonomi.

Kaum positivis memandang bahwa hukum sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa (John Austin, H.L.A. Hart).

Meskipun Hart juga mengemukakan masalah moral, ia tetap saja seorang positivis karena ia menangkap makna moral dari segi kebutuhan fisik manusia yg dpt diamati.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam kuliah yang lalu, bahwa hidup bermasyarakat manusia mempunyai dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek eksistensial.

Hukum sebagai produk budaya timbul dan berkembang bukan sekedar memenuhi aspek fisik, melainkan juga untuk memenuhi aspek eksistensial manusia dlm hidup bermasyarakat.

Perlunya aturan, Hart perpangkal dari pandangan bahwa manusia dalam hidup bermasyarakat melakukan kelaziman-kezaliman tertentu, yang kemudian kelaziman itu digeneralisasi. 

Berdasarkan generalisasi-generalisasi yang nyata mengenai hakikat manusia dan dunia tempat manusia itu hidup dapat ditunjukkan bahwa sepanjang dipandang baik, ada aturan tingkah laku tertentu yg harus diadopsi oleh organisasi sosial apabila ia ingin bertahan.

Aturan-aturan itu pada kenyataannya menjadi unsur bersama dalam hukum dan moralitas konvensional bagi semua masyarakat yang pada titik tertentu dapat dibedakan dari sarana kontrol sosial lainnya. 

Pikiran Hart tersebut menunjukkan bahwa hukum berpangkal dari sesuatu yang bersifat empiris.

Prinsip-prinsip tingkah laku yg mempunyai dasar kebenaran elementer mengenai kemanusiaan, lingkungan alamnya, dan tujuannya oleh Hart disebut minimum content of natural law. 

Minimum content of natural law inilah yg menjadi alasan manusia untuk menaati aturan yg dibuat manusia guna melanjutkan hidup bermasyarakat.

Yang disebut moral dalam kerangka pikir Hart adalah nalar yang berdasarkan pada minimum content of natural law, sehingga seseorang tidak melanggar aturan yang dibuat oleh masyarakat dalam rangka mempertahankan kehidupan bermasyarakat.


Oleh: Prof. DR. Faisal A. Rani, S.H., M.H.