Tujuan yang dikandung oleh hukum tidak terlepas dari siapa yang membuat hukum tersebut. Jika sebelum Bangsa Indonesia merdeka, sebagian besar Hukum agraria dibuat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda, maka jelas tujuan dibuatnya adalah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan penjajah. Hukum agraria yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria yang sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum agraria yang ada dan berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa sendiri masih bersifat Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia Belanda di
Indonesia terdapat dualisme hukum yang menyangkut Hukum Agraria Barat, dan
dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa yang
merupakan pelaksanaan politik kolonial konservatif dihapuskan dan dimulailah
sistem liberal. Politik liberal adalah kebalikannya dari politik konservatif
dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Prinsip politik liberal adalah tidak
adanya campur tangan pemerintah dibidang usaha, swasta diberikan hak untuk
mengembangkan usaha dan modalnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
semakin tajamnya kritik yang dialamatkan kepada Pemerintah Belanda karena
kebijakan politik agrarianya mendorong dikeluarkannya kebijakan kedua yang
disebut Agrarisch Wet(dimuat dalam Staatblad 1870 Nomor 55).
Terkait dengan sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan
hal-hal diatas, maka hak-hak atas tanah dapat dibedakan dalam 2 masa, yaitu
masa kolonial (sebelum kemerdekaan) dan setelah kemerdekaan.
A. Masa Kolonial (sebelum kemerdekaan)
Hak-hak atas tanah yang ada pada masa kolonial ini, tentunya
tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, diantara hak-hak
yang diatur tersebut antara lain:
a. Hak Eigendom (hak milik); Pasal 570 KUH Perdata menyebutkan; Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh-penuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak menganggu hak hak orang lain; semua itu kecuali pencabutan eigendom untuk ke pentingan umum dengan pembayaran yang layak menurut peraturan-peraturan umum.
b. Hak Erfpacht (hak usaha); Hak erpacht adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas benda orang lain. Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan, bahwa suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban memberi upeti tahunan. Disebutkan didalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun temurun, banyak diminta untuk keperlua pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.
c. Hak Opstal (hak numpang karang); Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan atau tanam-tanaman di atas tanah orang lain. Menurut Pasal 711 KUH Perdata disebutkan bahwa hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan orang lain.
B. Masa Setelah Kemerdekaan
1. Sebelum UUPA
Hukum agraria sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum, dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan hak-hak atas tanah di Indonesia.
Hukum agraria sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum, dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan hak-hak atas tanah di Indonesia.
Sifat dualisme Hukum Agraria kolonial ini meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
a) Hukumnya; Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yang meliputi:(a) Hukum Agraria Barat yang diatur dalam Bugerlijk Wetboek, Agrarische Wet, dan Agrarische Besluit; (b) Hukum Agraria Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing; (c) Hukum Agraria Swapraja yang berlaku didaerah-daerah Swapraja (seperti: Yogyakarta, Surakarta, dan Aceh); dan (d) Hukum Agraria Antar-Golongan (Agrarische Interdentielrecht) yaitu hukum yang digunakan untuk menyelesaikan hubungan-hubungan hukum dalam bidang pertanahan antar orang-orang pribumi dengan orang-orang bukan pribumi
b) Hak Atas Tanah; meliputi: (a) Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, Recht van gebruik (hak pakai), bruikleen (hak pinjam pakai); (b) Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yayasan, tanah kas desa, tanah gogolan, tanah pangonan (penggembalaan), tanah kuburan; (c) Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, misalnya hak agrarische (tanah milik adat yang ditundukkan diripada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah yang subjek hukumnya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing/ Tionghoa); (d) Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya grant sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh Pemerintah Swapraja khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor Pejabat Swapraja)
2. Setelah UUPA
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai dasar bagi Hukum Agraria di Indonesia, maka problema dualisme pun teratasi. Alhasil, Negara Indonesia dapat berupaya semakin maksimal, guna mencapai apa yang menjadi tujuan Negara bagi kemakmuran Rakyat.
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai dasar bagi Hukum Agraria di Indonesia, maka problema dualisme pun teratasi. Alhasil, Negara Indonesia dapat berupaya semakin maksimal, guna mencapai apa yang menjadi tujuan Negara bagi kemakmuran Rakyat.
Hak-hak atas tanah diatur dalam UUPA pasal 2, pasal 4, pasal
16, pasal 20-46, pasal 50, pasal 53, pasal 55, dan ketentuan-ketentuan tentang
konversi. Sehingga lahirlah kodifikasi hak-hak atas tanah yang lebih baik. Setelah adanya UUPA, hak-hak atas tanah di Indonesia pun
mutlak menjadi milik Negara Indonesia. Dalam UUPA hak tanah mempunyai hierarki atau tingkatan.
Sumber:
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Bandung Refika Aditama, 2007)
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Bandung Refika Aditama, 2007)