1. Teori Absolut (vergeldings theorien)
Teori Absolut atau Teori pembalasan
mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti
memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu
kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu.
Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh
karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan
mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat
suatu pidana ialah pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).
2. Teori Relatif (doeltheorien)
Teori Relatif atau Teori Tujuan mengatakan
suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti
dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi
harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi
si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada
masa depan.
Dengan demikian, harus ada tujuan lebih
jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga
dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya
agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi
(prevensi).
Teori relatif ini melihat bahwa
penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang
yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen (Wirjono
Projdodikoro, 2003 : 26) terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu
perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.
Perbaikan yuridis mengenai sikap si
penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara
berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan
perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang
bermoral tinggi.
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Disamping teori absolut dan teori
relatif tentang hukum pidana, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui
adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui
pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap
pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut
dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut antara lain (Hermien Hadiati
Koeswadji, 1995 : 11-12):
1. Kelemahan teori absolut
Dapat menimbulkan ketidakadilan.
Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati,
melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
Apabila yang menjadi dasar teori ini
adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?
2. Kelemahan teori tujuan
Dapat menimbulkan ketidakadilan pula.
Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin
pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk
menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana
bertentangan dengan keadilan.
Kepuasan masyarakat diabaikan.
Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat
yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
Sulit untuk dilaksanakan dalam
peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam
praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini,
maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang
menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi
seimbang.
Teori gabungan yang pertama,
yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 :
36). Pompe menyatakan :
Orang tidak menutup mata pada
pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi
tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana
adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi
itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan
kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori
gabungan (Andi Hamzah, 2005 : 36), ia menyatakan :
Pidana bertujuan membalas kesalahan
dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara
tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk
mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan
yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi
yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang
berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi
sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius
tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan
bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana
melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan
pemerintahan (Andi Hamzah, 2005 : 37).
Teori gabungan yang kedua, yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib
masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan
gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.
Pidana bersifat pembalasan karena ia
hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara
sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan
pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.
Menurut Vos (Andi Hamzah, 2005 : 37) "Pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana,
karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena
sudah berpengalaman."
Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan
pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas
oleh para sarjana (Andi Hamzah, 2005 : 37).
Sumber: