Keadilan (gerechtigheid,
rechtvaardigheid) menunjuk pada pertimbangan nilai yang sangat subjektif. Terdapat
hubungan dan kerja timbal balik antara yang subjektif dengan yang lain yang
bermacam-macam yang kurang subjektif seperti “sesuai dengan hukum” dan “sesuai dengan
undang-undang”.
Suatu pertimbangan keadilan (menurut N.E. Algra, dkk) berisi
suatu pandangan yang pada dasarnya berwarna pribadi terhadap sesuatu yang
seharusnya menurut hukum. Pertimbangan keadilan, suatu katagori pertimbangan
nilai khusus – “pertimbangan yang seharusnya” – yang tidak hanya meletakkan
suatu claim (tuntutan) terhadap tingkah laku sendiri melainkan juga terhadap
orang lain.
Keadilan adalah persoalan kita semua dan dalam suatu masyarakat
setiap anggota berkewajiban untuk “melayani” itu. Orang tidak boleh bersikap
netral, apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.
Sekarang kita berada dalam masa sesudah Ausklarung –
Immanuel Kant disifatkan: “Ausklarung adalah pembebasan manusia dari ketidakcakapannya
berbuat, yang disebabkan kesalahannya sendiri” – sebagai “ketidakmampuannya untuk
mempergunakan akalnya tanpa pimpinan orang lain.”
Ausklarung – sesungguhnya berarti bahwa setiap orang pada
dasarnya boleh memilih nilai dan cita-citanya sendiri dan tidak usah lebih lama
menyesuaikan diri dengan pemikiran dan skala nilai yang dipaksakan padanya.
Pemikiran hukum dari jaman sebelum Ausklarung terutama di
Eropah Barat sangat dikuasai oleh kepercayaan akan adanya suatu hukum yang
abadi dan tidak berubah, yang berlaku untuk semua jaman dan semua tempat. Karena
pengaruh Ausklarung – maka keyakinan tentng hukum yang universal mulai mundur.
Hukum yang universal, dan tidak kenal batas waktu dan tempat
itu, hukum dulu dan sekarang adalah hukum alam – orang melihatnya sebagai hukum
ideal dan sering dibedakan dari hukum yang berlaku, hukum positif. Dengan
demikian maka diciptakan suatu perlawanan: hukum alam (yang sempurna) terhadap
hukum positif
Tentang nama - dalam “alam” orang melihat sesuatu yang asli,
yang tidak disalurkan, yang sebenarnya sebagai lawan dari “positif”, yang
dibuat, yang tidak asli.
Manusia seharusnya berusaha supaya hukum positif sebanyak
mungkin mendekti hukum alam yang ideal. Dalam pandangan ini, hukum alam itu
seyokyanya menjadi pedoman bagi mereka, yang berhak menentukan bagaimana
seharusnya bunyi hukum yang berlaku itu.
Mereka seharunya menemukan hukum alam itu, memperlihatkan
peraturan apa yang terkandung di dalamnya, hal mana dianggap mungkin, sebab
hukum alam itu dilihat sebagai hukum yang terletak di suatu tempat dan waktu.
Cicero dalam De Republica III – suatu UU yang benar adalah
akal yang murni, yang selaras dengan alam, tersebar dalam semuanya, tetap dan
abadi. Menurutnya hanya ada satu undang-undang yang tak berubah dan berlaku
untuk semua bangsa dan segala zaman, dan hanya ada satu tuan dan peraturan untuk
kita semua, yaitu Tuhan, sebab Ia adalah pembuat undang-undang ini (hukum
alam), dan yang mengumumakaannya serta hakim yang mempertahankannya. Hukum alam
merupakan suatu batu ujian untuk hukum positif.
1. Rasionalis-Thomas Aquino (1226-1274)
Rasionalisme atau nasionalistis yang menonjol didalam pandangan ini adalah
adanya dugaan bahwa di atas hukum positif
terdapat hukum yang lebih tinggi lagi, yang dengan bantuan akal (rasio) dapat
diselidiki dan yang harus dapat menjadi pedoman bagi “pembentuk hukum” dan sebagai
suatu batu ujian bagi hukum yang berlaku.
Hukum yang lebih tinggi itu – janganlah kita berfikir pada
peraturan yang tersedia yang langsung dapat diterapkan, hal ini lebih banyak
merupakan asas hukum dari pada aturan hukum.
Contoh dari prinsip yang ditimbulkan dari hukum alam adalah:
o
janji harus ditepati;
o
barang-barang harus mempunyai pemilik;
o
setiap orang hendaknya menerima dan
mempertahankan bagiannya.
Thomas Aquino melihat manusia itu primer sebagai pemikir,
makhluk yang diberkahi akal. Thomas mencoba mendamaikan wahyu Ilahi dengan
kebenaran yang timbul dari akal – mencoba membuat sintese antara iman dan akal,
anugerah dan alam.
Dengan “akal” (Latin: ratio,
Prancis: raison, Jerman: Vernunft) yang biasanya dalam filsafat dimaksud sesuatu yang
“lebih tinggi” dari pada “pikiran”. Jika pikiran mengarah pada pengetahuan dan
pandangan, maka akal membawa pikiran manusia pada jalan baru, penemuan, membawa
untuk mengadakan kombinasi dan deduksi, sehingga sampai kepada pembagian baru. Akal
itu biasanya dilihat sebagai “tanda hakiki” dari manusia.
Thomas berjasa memberikan tempat tersendiri kepada akal,
berdasarkan sifatnya sendiri yang berbeda daripada sifat kepercayaan. Ia
memberikan “sinar hijau” kepada akal sepanjang ia mau menundukkan diri di bawah
pengawasan dari kepercayaan. Akal dan kepercayaan termasuk dua bidang yang
berlainan.
Kebenaran Ilahi sesungguhnya berdasarkan atas wahyu adalah
benar karena Tuhan menyatakannya tetapi kebenaran ilmiah berdasarkan
pengamatan.
Tiga Leges:
- Lex
Aeterna – hukum abadi. Tuhan sesungguhnya menciptakan manusia menurut
gambarannya dan oleh sebab itu dalam pembawaan manusia terdapat suatu
pencerminan, (seolah-olah suatu tindakan, cetakan, stempel) dari Lex Aeterna itu.
- Cetakan, stempel ini oleh Thomas disebut Lex Naturalis – hukum alam. Lex ini mengajarkan kepada manusia
perbedaan antara baik dan buruk, berbuat yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Itulah satu-satunya peraturan yang tepat, yang berasal dari hukum alam; untuk
selebihnya hukum ini memberi kepada manusia hanya petunjuk, bagaimana
seharusnya rupa hukum itu.
Indikasi semacam itu antara lain:
o
Nafsu yang diberikan alam untuk mempertahankan
diri, yang sama-sama dimiliki manusia dan segala makhluk hidup lainnya; dari
sini manusia menyimpulkan dengan akalnya peraturan yang lebih konkret, seperti
larangan membunuh.
o
Nafsu untuk berkembang biak dan memelihara
kerukunan yang dimiliki oleh manusia dan binatang; dari ini manusia dengan
akalnya menyimpulkan peraturan perkawinan, kekuasaan orang tua, kewajiban anak untuk
menghormati orang tua; dan
o
Alam manusia yang khas, berdasarkan mana ia
mencari kebenaran (Ilahi), usaha menuntut ilmu, keinginan untuk hidup bersama orang
lain. Karena itu masuk akal bahwa manusia tidak boleh merugikan orang lain, bhw
manusia harus menempati janjinya dan sebagainya.
- Lex Humana
atau hukum manusiawi, hukum positif yang berlaku. Hukum ini seyokyanya
merupakan penjelmaan yang konkret dari dasar yang dihasilkan oleh Lex Naturalis.
Dari Lex naturalis dapat disalurkan lex humana:
o
Langsung – suatu aturan disalurkan langsung dari
aturan hukum alam, misalnya larangan mencuri yang langsung disimpulkan dari
dari tidak boleh merugikan sesama manusia. Ini merupakan metode yang biasa
dipergunakan dalam ilmu dengan menarik suatu kesimpulan (conclusio) dari premis
(dalil yang tersedia).
o
Tidak langsung (indirect) – pihak yang
menciptakan mengerjakan dasar hukum alam itu menjadi peraturan, sama seperti
arsitek, bertitik tolak dari suatu pemikiran yang global, mengerjakan lebih
lnanjut menjadi suatu gambar. Demikian, dari peraturan “jangan berbuat jahat terhadap
sesamanya” orang dapat sampai kepada suatu peraturan yang menentukan pembunuhan
harus dihukum sedang sifat hukuman itu juga hanya dapat diturankan secara tidak
langsung melalui metode – determinatio.
Melengkapi hukum manusiawi itu boleh juga diperluas,
tanpa menimbulkan ketentuan itu secara langsung atau tidak langsung dari lex naturalis (tidak boleh bertentangan dengan
lex naturalis). Inilah yang disebut metode additio.
2. Voluntaris-Thomas Hobbes (1588-1679)
Jika rasionalis bertolak dari rasio (akal) sebagai sumber
pengenal daru hukum alam, maka para voluntaris menerima voluntas (kemauan)
sebagai sumber hukum. Dari itu keluarlah pendapat yang sangat berlainan
mengenai hukum alam– Kemauan raja adalah UU. Menciptakan hukum dalam pandangan
ini bukanlah “pekerjaan berpikir”, tetapi “memerintah”.
Yang penting di sini adalah perintah yang diberikan itu
harus dikerjakan, misalnya “Kamu tidak boleh mencuri”. Dengan perintah semacam
itu sebagai titik tolak, selanjutnya dengan bantuan akal orang dapat
menguraikan norma yang diberikan itu. Sebaliknya pada rasionalis, norma itu
dikonstruksikan melalui jalan pikiran: akallah yang utama (premair) dan aturan yang kedua (secondair).
Jika rasionalis dapat mengarah kepada usaha kritis “pembuat
hukum”, maka para voluntaris sebaliknya biasanya memperkuat hukum yang berlaku dengan
pendapat mereka. Sesungguhnya perintah itu merupakan suatu dalil (aksioma) yang
tak dapat dilanggar, terhadap mana alasan berdasarkan “akal” tidak dapat
menandinginya.
Sebagian besar voluntaris – ketertiban alamiah itu menuntut
adanya suatu pemerintah, yang memandang sebagai tugas alamiahnya, menciptakan
hukum dan mempertahankannya.
Menurut Lon L. Fuller inti dari manusia bukanlah akalnya dan
juga bukan kemauannya, tetapi kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain. Dengan
demikian tingkah laku manusia dapat dikemudikan dan apakah hal itu akan
berhasil tergantung dari ketrampilan mengemudi dari orang yang menyusun aturan
itu.
3. Teknologis-Lon L. Fuller
Teknologis – “jus est
ars” – pembuatan hukum itu adalah suatu ketrampilan. Para Teknolog – isi
hukum ditempatkan dibelakang; bagi mereka hukum yang baik adalah hukum yang
timbul menurut aturan kesenian.
Untuk pembentukannya berlaku berbagai desiderata (cita-cita, keinginan), seperti suatu undang-undang
haruslah jelas, tidak berlaku surut, dan sebagainya. Salah seorang wakil modern
aliran ini Lon L. Fuller.
Oleh: Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.