RSS
Facebook
Twitter

27 Jun 2013

Teori Pemidanaan



1. Teori Absolut (vergeldings theorien)
Teori Absolut atau Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).

2. Teori Relatif (doeltheorien)
Teori Relatif atau Teori Tujuan mengatakan  suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.
Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen (Wirjono Projdodikoro, 2003 : 26) terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.

Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.

3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)

Disamping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut antara lain (Hermien Hadiati Koeswadji, 1995 : 11-12):

1. Kelemahan teori absolut
Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada. 
Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?
 2. Kelemahan teori tujuan
Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan. 
Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan. 
Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.

Teori gabungan yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 : 36). Pompe menyatakan :
Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan (Andi Hamzah, 2005 : 36), ia menyatakan :
Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan (Andi Hamzah, 2005 : 37).

Teori gabungan yang kedua, yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.

Menurut Vos (Andi Hamzah, 2005 : 37) "Pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman."

Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana (Andi Hamzah,  2005 : 37).


Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar