RSS
Facebook
Twitter

28 Jun 2013

Sejarah Hak-hak Atas Tanah


Tujuan yang dikandung oleh hukum tidak terlepas dari siapa yang membuat hukum tersebut. Jika sebelum Bangsa Indonesia merdeka, sebagian besar Hukum agraria dibuat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda, maka jelas tujuan dibuatnya adalah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan penjajah. Hukum agraria yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria yang sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum agraria yang ada dan berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa sendiri masih bersifat Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia Belanda di Indonesia terdapat dualisme hukum yang menyangkut Hukum Agraria Barat, dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa yang merupakan pelaksanaan politik kolonial konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Politik liberal adalah kebalikannya dari politik konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Prinsip politik liberal adalah tidak adanya campur tangan pemerintah dibidang usaha, swasta diberikan hak untuk mengembangkan usaha dan modalnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena semakin tajamnya kritik yang dialamatkan kepada Pemerintah Belanda karena kebijakan politik agrarianya mendorong dikeluarkannya kebijakan kedua yang disebut Agrarisch Wet(dimuat dalam Staatblad 1870 Nomor 55).

Terkait dengan sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan hal-hal diatas, maka hak-hak atas tanah dapat dibedakan dalam 2 masa, yaitu masa kolonial (sebelum kemerdekaan) dan setelah kemerdekaan.

A. Masa Kolonial (sebelum kemerdekaan)

Hak-hak atas tanah yang ada pada masa kolonial ini, tentunya tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, diantara hak-hak yang diatur tersebut antara lain:
a. Hak Eigendom (hak milik); Pasal 570 KUH Perdata menyebutkan; Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh-penuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak menganggu hak hak orang lain; semua itu kecuali pencabutan eigendom untuk ke pentingan umum dengan pembayaran yang layak menurut peraturan-peraturan umum.
b. Hak Erfpacht (hak usaha); Hak erpacht  adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas benda orang lain. Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan, bahwa suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban memberi upeti tahunan. Disebutkan didalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun temurun, banyak diminta untuk keperlua pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.
c. Hak Opstal (hak numpang karang); Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan atau tanam-tanaman di atas tanah orang lain. Menurut Pasal 711 KUH Perdata disebutkan bahwa hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan orang lain.
B. Masa Setelah Kemerdekaan

1. Sebelum UUPA 
Hukum agraria sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum, dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan hak-hak atas tanah di Indonesia. 


Sifat dualisme Hukum Agraria kolonial ini meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
a) Hukumnya; Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yang meliputi:(a) Hukum Agraria Barat yang diatur dalam Bugerlijk Wetboek, Agrarische Wet, dan Agrarische Besluit; (b) Hukum Agraria Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing; (c) Hukum Agraria Swapraja yang berlaku didaerah-daerah Swapraja (seperti: Yogyakarta, Surakarta, dan Aceh); dan (d) Hukum Agraria Antar-Golongan (Agrarische Interdentielrecht) yaitu hukum yang digunakan untuk menyelesaikan hubungan-hubungan hukum dalam bidang pertanahan antar orang-orang pribumi dengan orang-orang bukan pribumi
b) Hak Atas Tanah; meliputi: (a) Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya  hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, Recht van gebruik (hak pakai), bruikleen (hak pinjam pakai); (b) Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yayasan, tanah kas desa, tanah gogolan, tanah pangonan (penggembalaan), tanah kuburan; (c) Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, misalnya hak agrarische (tanah milik adat yang ditundukkan diripada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah yang subjek hukumnya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing/ Tionghoa); (d) Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya grant sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh Pemerintah Swapraja khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor Pejabat Swapraja)
2. Setelah UUPA 
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai dasar bagi Hukum Agraria di Indonesia, maka problema dualisme pun teratasi. Alhasil, Negara Indonesia dapat berupaya semakin maksimal, guna mencapai apa yang menjadi tujuan Negara bagi kemakmuran Rakyat.

Hak-hak atas tanah diatur dalam UUPA pasal 2, pasal 4, pasal 16, pasal 20-46, pasal 50, pasal 53, pasal 55, dan ketentuan-ketentuan tentang konversi. Sehingga lahirlah kodifikasi hak-hak atas tanah yang lebih baik. Setelah adanya UUPA, hak-hak atas tanah di Indonesia pun mutlak menjadi milik Negara Indonesia. Dalam UUPA hak tanah mempunyai hierarki atau tingkatan.

Sumber:
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif  Sejarah, (Bandung Refika Aditama, 2007)


27 Jun 2013

Teori Pemidanaan



1. Teori Absolut (vergeldings theorien)
Teori Absolut atau Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).

2. Teori Relatif (doeltheorien)
Teori Relatif atau Teori Tujuan mengatakan  suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.
Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen (Wirjono Projdodikoro, 2003 : 26) terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.

Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.

3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)

Disamping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut antara lain (Hermien Hadiati Koeswadji, 1995 : 11-12):

1. Kelemahan teori absolut
Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada. 
Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?
 2. Kelemahan teori tujuan
Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan. 
Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan. 
Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.

Teori gabungan yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 : 36). Pompe menyatakan :
Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan (Andi Hamzah, 2005 : 36), ia menyatakan :
Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan (Andi Hamzah, 2005 : 37).

Teori gabungan yang kedua, yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.

Menurut Vos (Andi Hamzah, 2005 : 37) "Pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman."

Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana (Andi Hamzah,  2005 : 37).


Sumber:

Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata "pidana" pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan "pemidanaan" diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. 

1. J.M. Van Bemmelen

J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut:
Hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.(Leden Marpaung, 2005 : 2)
2. P.A.F. Lamintang

P.A.F. Lamintang  memberikan pengertian sebagai berikut: 
Tindak Pidana Materiil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang. (P.A.F. Lamintang, 1997) 

3. Sudarto

Sudarto memberikan pengertian dari tindak pidana materiil dan tindak pidana formil, yaitu sebagai berikut:
Tindak Pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Tindak pidana ini baru dianggap selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki (dilarang) tersebut benar-benar terjadi. Tindak Pidana Formil adalah merupakan tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana tersebut (tanpa Melihat akibatnya). (Sudarto, 1989)
4. Tirtamidjaja

Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil sebagai berikut:
Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim. (Leden Marpaung, 2005 : 2)

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materiil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil adalah aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materiil.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.

Sumber: 






11 Mei 2013

Mazhab Sejarah

Mazahab Sejarah dipelopori oleh Von Savigni. Mazhab ini sering juga disebut dengan historischrechtsshule. Mazahab ini sebagai reaksi terhadap hukum alam (hukum kodrat) yang berpandangan bahwa hukum kodrat itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi segala bangsa, tidak terikat tempat dan waktu.

Mazhab sejarah berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempat. Mazahab sejarah timbul sebagai reaksi terhadap semangat revolusi dan ekspansi Prancis.
Mazhab sejarah menitikberatkan pandangannya pada jiwa bangsa – volksgeist.

Bangsa di dunia ini beramacam-macam adanya, oleh karenanya jiwa dan kepribadiannya bermacam-macam pula. Jiwa bangsa menjelma dalam bahasa, adat kebiasaan, susunan kenegaraan dan hukum bangsa itu. Sebagaimana halnya bahasa, hukum tumbuh melalui suatu proses yang perlahan-lahan.

Hukum hidup dalam kesadaran bangsa, maka hukum berpangkal dalam kesadaran bangsa. Hukum bersumber pada perasaan keadilan yang naluriah yang dimiliki setiap bangsa. Namun tidak berarti bahwa jiwa setiap warga negara bangsa itu menghasilkan hukum, karena yang dapat berwujud hukum itu jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan berada dalam setiap individu dan menghasilkan hukum positif.

Timbulnya hukum positif tidak terjadi oleh akal mansia yang secara sadar memang menghendakinya, tetapi hukum positif itu tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa secara organik. Jadi tumbuh dan berkembangnya hukum itu bersama-sama dengan tumbuh dan berkembangnya suatu bangsa.

Tulisan ini saya ambil dari bahan ajar:
Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.

Sosiologi Hukum

Oleh: Prof. DR. Faisal A. Rani,S.H., M.H.

Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa objek telaah sosiologi hukum adalah hukum dari sisi tampak kenyataannya, yakni hukum sebagaimana dijalankan sehari-hari  oleh orang dalam kenyataan.

Maksudnya, yang dipelajari dalam disiplin ilmiah ini adalah kenyataan hukum dalam arti kenyataan kemasyarakatan berkenaan dengan adanya aturan hukum yang mencakup hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara hukum dan proses kemasyarakatan.

Jadi, di satu satu pihak mempelajari semua akibat, yang dimaksudkan maupun yang tidak dimaksudkan, yang diinginkan maupun yang tidak, yang ditimbulkan oleh kaedah hukum dalam kenyataan kemasyarakatan. Di lain pihak, semua akibat proses kemasyarakatan yang mendukung maupun melemahkan atau membelokkan proses pembentukan dan penerapan hukum.

Dengan demikian sosiologi hukum dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berdasarkan analisis teoretis dan penelitian empiris berusaha menetapkan dan menjelaskan pengaruh proses kemasyarakatan dan perilaku orang terhadap pembentukan, penerapan, yurisprudensi dan dampak kemasyarakatan antara hukum, dan sebaliknya pengaruh aturan hukum terhadap proses kemasyarakatan dan perilaku orang.

Satjipto Rahardjo, C.J.M. Schuit, P. Vinke dan sosiolog lainnya pada umumnya mengemukakan bahwa penelitian hukum secara sosiologis tentang sistem hukum, tentang lembaga hukum dan organisasi dengan jabatan yang ada di dalamnya, tentang yustiabel, tentang asas hukum, dan pengertian-pengertian fundamental dalam hukum.

Satjipto Rahardjo mengungkapkan 3 karakteristik sosiologi hukum:
Pertama, bertujuan memberikan penjelasan terhadap praktek hukum dengan menjelaskan mengapa praktek hukum itu demikian, apa sebabnya, apa faktor yang mempengaruhi, apa latar belakangnya, dan sebagainya. Dengan mengikuti Max Weber, penjelasan tentang perilaku orang berkenaan dengan berlakunya aturan hukum itu mencakup baik segi eksternalnya maupun segi internalnya (motif perilaku).
Kedua, sosiologi hukum selalu menguji kesahihan empiris aturan atau kenyataan hukum.
Ketiga, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, melainkan hanya memberi penjelasan apa adanya dalam kenyataan, dan demikian mendekati hukum dari segi objektivitas semata.
Bruggink mengemukakan adanya dua jenis (aliran, “stroming”) dalam sosiologi hukum, yakni:
  1. Sosiologi hukum empiris (erklaerende soziologie); 
Dengan bertolak dari titik berdiri eksternal dan mengacu kepada teori kebenaran korespondensi, mengkompilasi dan menata material objek-telaahnya (perilaku orang dan kelompok orang) untuk kemudian dengan metode kuantitatif menarik dari dalamnya kesimpulan2 tentang hubungan antara kaidah atau aturan hukum dengan hubungan kemasyarakatan.
Metode yang digunakan mendekati metode yang digunakan dalam ilmu alam. Tujuannya untuk menghasilkan produk penelitian semurni atau seobjektif mungkin, sehingga mampu menciptakan gambaran (deskriptif) setepat mungkin tentang kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya berfungsi aturan hukum positif. Produknya sedapat mungkin dituangkan ke dalam proposisi informatif yang terbuka untuk diverifikasi empiris. Penuangan ke dalam proposisi normatif atau evaluatif dihindari, karena dipandang non-kognitif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris sehingga tidak dapat digunkan dalam suatu teori empiris. Para sosiolog hukum empiris pada umumnya termasuk dalam aliran positivisme (aliran filsafat pengetahuan).
      2.  Sosiologi hukum kontemplatif (verstehende soziologie).
Dianut pendirian bahwa untuk dapat mengatakan sesuatu secara bermakna tentang masyarakat dan kaidah-kaidah hukum yang berperan penting di dalamnya, maka orang harus menjadi bagian dari masyarakat itu dan akrab dengan kaidah hukum yang berfungsi di dalamnya. Ini berarti bahwa penelitian sosiologis tentang hukum harus bertolak dari titik berdiri internal, yakni dari sudut perspektif partisipan pada masyarakat dan kehidupan hukumnya yang menjadi objek telaah.
Jenis sosiologi ini mengacu kepada teori kebenaran pragmatik. Produk penelitiannya dituangkan ke dalam proposisi baik informatif maupun normatif dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan produknya dikaji melalui diskursus intersubjektif.

Mazhab Sosiologis

Mazhab ini dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber, Hammaker. Hukum itu sebenarnya hasil pertentangan-pertentangan dan hasil perimbangan antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi sosial, perkembangan ekonomi, dan pertentangan serta pertimbangan kepentingan-kepentingan golongan atau kelas dalam masyarakat.

Ilmu hukum tidak dapat hanya berdasarkan analisa logika saja terhadap kaedah hukum, melainkan juga harus menggunakan pendekatan secara sosiologis. Sosiologi adalah ilmu pengtahuan yang menyelediki hubungan antara gejala masyarakat yang satu dg gejala masyarakat yang lain. Sedangkan ilmu hukum menurut mazhab sosiologis, adalah memberikan suatu gambaran tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat. Jadi hukum adalah gejala masyarakat.

Hukum bukan norma tetapi kebiasaan manusia yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya di dalam masyarakat. Maka dengan demikian hukum itu merupakan fakta atau petunjuk yang mencerminkan kehidupan masyarakat. Guna memahami kehidupan hukum dari suatu masyarakat maka seorang ahli hukum harus mempelajari perundang-undangan, keputusan pengadilan dan kenyataan sosial.

Hukum itu tidak  perlu diciptakan oleh negara, karena hukum sebenarnya tidak merupakan pernyataan-pernyataan tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan golongan dalam masyarakat. Hakim bebas dalam menggali sumber-sumber hukum yang terdapat dalam masyarakat, yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat. Oleh karenanya mazhab sosiologis disebut juga mazhab hukum bebas  atau freie rechtsschule.

Menurut Eugen Ehrlich, berlakunya hukum tergantung pada penerimaan masyarakat, dan sebenarnya tiap masyarakat menciptakan sendiri hukumnya yang hidup. Daya kreativitas masing-masing golongan berbeda dalam penciptaan hukumnya. Dari kenyataan tersebut, faktor masyarakat sangat penting untuk mengetahui efektifitas hukum dalam masyarakat. 

Menurut Leon Duguit, berlakunya hukum itu sebagai suatu realita bahwa ia diperlukan oleh manusia yang secara bersama hidup dalam masyarakat. Hukum bukan tergantung pada kehendak penguasa melainkan tergantung pada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari para anggota masyarakat untuk mentaati hukum. Suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif.

Menurut Duguit, pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum, karena pembentuk undang-undang tugasnya hanya mentransformasikan saja hukum yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.

Tulisan ini saya ambil dari bahan ajar:
Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.

Hukum Alam

Keadilan (gerechtigheid, rechtvaardigheid) menunjuk pada pertimbangan nilai yang sangat subjektif. Terdapat hubungan dan kerja timbal balik antara yang subjektif dengan yang lain yang bermacam-macam yang kurang subjektif seperti “sesuai dengan hukum” dan “sesuai dengan undang-undang”.

Suatu pertimbangan keadilan (menurut N.E. Algra, dkk) berisi suatu pandangan yang pada dasarnya berwarna pribadi terhadap sesuatu yang seharusnya menurut hukum. Pertimbangan keadilan, suatu katagori pertimbangan nilai khusus – “pertimbangan yang seharusnya” – yang tidak hanya meletakkan suatu claim (tuntutan) terhadap tingkah laku sendiri melainkan juga terhadap orang lain.

Keadilan adalah persoalan kita semua dan dalam suatu masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk “melayani” itu. Orang tidak boleh bersikap netral, apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.
Sekarang kita berada dalam masa sesudah Ausklarung – Immanuel Kant disifatkan: “Ausklarung adalah pembebasan manusia dari ketidakcakapannya berbuat, yang disebabkan kesalahannya sendiri” – sebagai “ketidakmampuannya untuk mempergunakan akalnya tanpa pimpinan orang lain.”

Ausklarung – sesungguhnya berarti bahwa setiap orang pada dasarnya boleh memilih nilai dan cita-citanya sendiri dan tidak usah lebih lama menyesuaikan diri dengan pemikiran dan skala nilai yang dipaksakan padanya.

Pemikiran hukum dari jaman sebelum Ausklarung terutama di Eropah Barat sangat dikuasai oleh kepercayaan akan adanya suatu hukum yang abadi dan tidak berubah, yang berlaku untuk semua jaman dan semua tempat. Karena pengaruh Ausklarung – maka keyakinan tentng hukum yang universal mulai mundur.

Hukum yang universal, dan tidak kenal batas waktu dan tempat itu, hukum dulu dan sekarang adalah hukum alam – orang melihatnya sebagai hukum ideal dan sering dibedakan dari hukum yang berlaku, hukum positif. Dengan demikian maka diciptakan suatu perlawanan: hukum alam (yang sempurna) terhadap hukum positif
Tentang nama - dalam “alam” orang melihat sesuatu yang asli, yang tidak disalurkan, yang sebenarnya sebagai lawan dari “positif”, yang dibuat, yang tidak asli.

Manusia seharusnya berusaha supaya hukum positif sebanyak mungkin mendekti hukum alam yang ideal. Dalam pandangan ini, hukum alam itu seyokyanya menjadi pedoman bagi mereka, yang berhak menentukan bagaimana seharusnya bunyi hukum yang berlaku itu.
Mereka seharunya menemukan hukum alam itu, memperlihatkan peraturan apa yang terkandung di dalamnya, hal mana dianggap mungkin, sebab hukum alam itu dilihat sebagai hukum yang terletak di suatu tempat dan waktu.

Cicero dalam De Republica III – suatu UU yang benar adalah akal yang murni, yang selaras dengan alam, tersebar dalam semuanya, tetap dan abadi. Menurutnya hanya ada satu undang-undang yang tak berubah dan berlaku untuk semua bangsa dan segala zaman, dan hanya ada satu tuan dan peraturan untuk kita semua, yaitu Tuhan, sebab Ia adalah pembuat undang-undang ini (hukum alam), dan yang mengumumakaannya serta hakim yang mempertahankannya. Hukum alam merupakan suatu batu ujian untuk hukum positif.

1. Rasionalis-Thomas Aquino (1226-1274)

Rasionalisme atau nasionalistis  yang menonjol didalam pandangan ini adalah adanya dugaan  bahwa di atas hukum positif terdapat hukum yang lebih tinggi lagi, yang dengan bantuan akal (rasio) dapat diselidiki dan yang harus dapat menjadi pedoman bagi “pembentuk hukum” dan sebagai suatu batu ujian bagi hukum yang berlaku.
Hukum yang lebih tinggi itu – janganlah kita berfikir pada peraturan yang tersedia yang langsung dapat diterapkan, hal ini lebih banyak merupakan asas hukum dari pada aturan hukum.
Contoh dari prinsip yang ditimbulkan dari hukum alam adalah:
o   janji harus ditepati;
o   barang-barang harus mempunyai pemilik;
o   setiap orang hendaknya menerima dan mempertahankan bagiannya.

Thomas Aquino melihat manusia itu primer sebagai pemikir, makhluk yang diberkahi akal. Thomas mencoba mendamaikan wahyu Ilahi dengan kebenaran yang timbul dari akal – mencoba membuat sintese antara iman dan akal, anugerah dan alam.

Dengan “akal” (Latin: ratio, Prancis: raison, Jerman: Vernunft)  yang biasanya dalam filsafat dimaksud sesuatu yang “lebih tinggi” dari pada “pikiran”. Jika pikiran mengarah pada pengetahuan dan pandangan, maka akal membawa pikiran manusia pada jalan baru, penemuan, membawa untuk mengadakan kombinasi dan deduksi, sehingga sampai kepada pembagian baru. Akal itu biasanya dilihat sebagai “tanda hakiki” dari manusia.

Thomas berjasa memberikan tempat tersendiri kepada akal, berdasarkan sifatnya sendiri yang berbeda daripada sifat kepercayaan. Ia memberikan “sinar hijau” kepada akal sepanjang ia mau menundukkan diri di bawah pengawasan dari kepercayaan. Akal dan kepercayaan termasuk dua bidang yang berlainan.
Kebenaran Ilahi sesungguhnya berdasarkan atas wahyu adalah benar karena Tuhan menyatakannya tetapi kebenaran ilmiah berdasarkan pengamatan.

Tiga Leges:
  •  Lex Aeterna – hukum abadi. Tuhan sesungguhnya menciptakan manusia menurut gambarannya dan oleh sebab itu dalam pembawaan manusia terdapat suatu pencerminan, (seolah-olah suatu tindakan, cetakan, stempel) dari Lex Aeterna itu.
  • Cetakan, stempel ini oleh Thomas disebut Lex Naturalis – hukum alam. Lex ini mengajarkan kepada manusia perbedaan antara baik dan buruk, berbuat yang baik dan meninggalkan yang buruk. Itulah satu-satunya peraturan yang tepat, yang berasal dari hukum alam; untuk selebihnya hukum ini memberi kepada manusia hanya petunjuk, bagaimana seharusnya rupa hukum itu.


Indikasi semacam itu antara lain:
o   Nafsu yang diberikan alam untuk mempertahankan diri, yang sama-sama dimiliki manusia dan segala makhluk hidup lainnya; dari sini manusia menyimpulkan dengan akalnya peraturan yang lebih konkret, seperti larangan membunuh.
o   Nafsu untuk berkembang biak dan memelihara kerukunan yang dimiliki oleh manusia dan binatang; dari ini manusia dengan akalnya menyimpulkan peraturan perkawinan, kekuasaan orang tua, kewajiban anak untuk menghormati orang tua; dan
o   Alam manusia yang khas, berdasarkan mana ia mencari kebenaran (Ilahi), usaha menuntut ilmu, keinginan untuk hidup bersama orang lain. Karena itu masuk akal bahwa manusia tidak boleh merugikan orang lain, bhw manusia harus menempati janjinya dan sebagainya.
  • Lex Humana atau hukum manusiawi, hukum positif yang berlaku. Hukum ini seyokyanya merupakan penjelmaan yang konkret dari dasar yang dihasilkan oleh Lex Naturalis.
         Dari Lex naturalis dapat disalurkan lex humana:
o   Langsung – suatu aturan disalurkan langsung dari aturan hukum alam, misalnya larangan mencuri yang langsung disimpulkan dari dari tidak boleh merugikan sesama manusia. Ini merupakan metode yang biasa dipergunakan dalam ilmu dengan menarik suatu kesimpulan (conclusio) dari premis (dalil yang tersedia).
o   Tidak langsung (indirect) – pihak yang menciptakan mengerjakan dasar hukum alam itu menjadi peraturan, sama seperti arsitek, bertitik tolak dari suatu pemikiran yang global, mengerjakan lebih lnanjut menjadi suatu gambar. Demikian, dari peraturan “jangan berbuat jahat terhadap sesamanya” orang dapat sampai kepada suatu peraturan yang menentukan pembunuhan harus dihukum sedang sifat hukuman itu juga hanya dapat diturankan secara tidak langsung melalui metode – determinatio.
Melengkapi  hukum manusiawi itu boleh juga diperluas, tanpa menimbulkan ketentuan itu secara langsung atau tidak langsung dari lex naturalis (tidak boleh bertentangan dengan lex naturalis). Inilah yang disebut metode additio


    2. Voluntaris-Thomas Hobbes (1588-1679)

Jika rasionalis bertolak dari rasio (akal) sebagai sumber pengenal daru hukum alam, maka para voluntaris menerima voluntas (kemauan) sebagai sumber hukum. Dari itu keluarlah pendapat yang sangat berlainan mengenai hukum alam– Kemauan raja adalah UU. Menciptakan hukum dalam pandangan ini bukanlah “pekerjaan berpikir”, tetapi “memerintah”.

Yang penting di sini adalah perintah yang diberikan itu harus dikerjakan, misalnya “Kamu tidak boleh mencuri”. Dengan perintah semacam itu sebagai titik tolak, selanjutnya dengan bantuan akal orang dapat menguraikan norma yang diberikan itu. Sebaliknya pada rasionalis, norma itu dikonstruksikan melalui jalan pikiran: akallah yang utama (premair) dan aturan yang kedua (secondair).

Jika rasionalis dapat mengarah kepada usaha kritis “pembuat hukum”, maka para voluntaris sebaliknya biasanya memperkuat hukum yang berlaku dengan pendapat mereka. Sesungguhnya perintah itu merupakan suatu dalil (aksioma) yang tak dapat dilanggar, terhadap mana alasan berdasarkan “akal” tidak dapat menandinginya.

Sebagian besar voluntaris – ketertiban alamiah itu menuntut adanya suatu pemerintah, yang memandang sebagai tugas alamiahnya, menciptakan hukum dan mempertahankannya.

Menurut Lon L. Fuller inti dari manusia bukanlah akalnya dan juga bukan kemauannya, tetapi kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain. Dengan demikian tingkah laku manusia dapat dikemudikan dan apakah hal itu akan berhasil tergantung dari ketrampilan mengemudi dari orang yang menyusun aturan itu.
      
      3. Teknologis-Lon L. Fuller

Teknologis – “jus est ars” – pembuatan hukum itu adalah suatu ketrampilan. Para Teknolog – isi hukum ditempatkan dibelakang; bagi mereka hukum yang baik adalah hukum yang timbul menurut aturan kesenian.
Untuk pembentukannya berlaku berbagai desiderata (cita-cita, keinginan), seperti suatu undang-undang haruslah jelas, tidak berlaku surut, dan sebagainya. Salah seorang wakil modern aliran ini Lon L. Fuller.

Oleh: Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.