RSS
Facebook
Twitter

28 Jul 2015

PELUK ISLAM KARENA HERAN KEBIASAAN SHALAT JUMAT

Merasa heran, Leilah bertanya pada ibunya, "Kemana ayah pergi?" Ibunya menjawab, "Salat Jumat." Leilah tidak tahu apa itu salat Jumat.

Leilah Ahmad adalah Muslimah asal
Australia. Sulung dari dua bersaudara ini
keturunan Australia dan Pakistan. Dia dibesarkan dalam keluarga yang tidak kuat dalam agama. Orangtua Leilah membiarkan anak-anaknya memilih agama sendiri.

Namun Leilah akhirnya memilih Islam yang murni pilihannya, tanpa paksaan atau dorongan dar siapa pun. Hidayah datang kala Leilah kerap melihat kebiasaan ayahnya yang asli Pakistan
selalu keluar rumah pada siang hari di hari
Jumat.

Merasa heran, Leilah bertanya pada ibunya, "Kemana ayah pergi?" Ibunya menjawab, "Salat Jumat." Leilah tidak tahu apa itu salat Jumat. Ia bahkan tidak pernah tahu ayahnya Muslim. Akhirnya, Leilah memutuskan untuk bertanya langsung pada ayahnya. Ayahnya menjelaskan apa itu salat Jumat beserta
tujuannya. Leilah kemudian bertanya, apakah dia bisa ikut salat Jumat. Ayahnya mengiyakan. Leilah pun diminta mengenakan gaun panjang, syal, dan baju lengan panjang untuk menghormati
Muslim. Puluhan orang telah berkumpul di sana.

Leilah merasa seperti mendapat inspirasi ketika Imam menyampaikan khutbah salat Jumat. Hari itu Leilah baru menyadari bahwa Islam terasa baru baginya. Ia pernah melihat Muslim lewat di jalan, tapi ia tidak tahu mengapa perempuan Muslim harus memakai hijab.

Itu adalah kunjungan pertama Leilah ke sebuah masjid meski sebelum itu ia sebenarnya pernah mengunjungi masjid, meski tidak benar-benar sebuah masjid. Di Cannes, kaum Muslim sering mengubah sebuah rumah tempat mereka tinggal
untuk salat dan menggelar acara keagamaan.

Pada hari pertama berkunjung ke masjid, Leilah mendengar surah Al Fil. Imam membacakan dalam bahasa Inggris dan Arab.
"Lantunan ayat itu terdengar sangat lembut, terutama dalam bahasa Arab. Itu membuat saya merasa damai," kenangnya. Sejak itu, Leilah mengajukan lebih banyak pertanyaan pada ayahnya tentang Islam. Ayah Leilah menjawab dan menjelaskan satu persatu setiap pertanyaan yang diajukan. Leilah bahkan
ditunjukkan Alquran. Leilah merasa kata-kata di dalam Alquran begitu indah. Tidak ada lagi yang bisa dibandingkan dengan itu.

Ayahnya kemudian menjelaskan tentang Islam, mengajak dia menunaikan salat, dan ikut merayakan Lebaran. Leilah kemudian berusaha mempraktikkan ajaran Islam, tetapi ia masih membutuhkan kemantapan untuk mengucapkan
syahadat. Suatu hari, hatinya merasa tak sabar untuk menjadi seorang Muslimah. Bersama ayah dan adik laki-lakinya, Leilah pergi ke masjid dan mengucapkan syahadat. Adik Leilah juga masuk Islam pada waktu yang sama.

Setelah satu setengah tahun menjadi Muslimah, Leilah dan keluarganya pindah ke Gold Coast, Queensland. Di sana kondisinya lebih kondusif karena kota itu memiliki lebih banyak populasi Muslim.
(Sumber: OnIslam.net)

m.dream.co.id/news/peluk-islam-karena-heran-lihat-kebiasaan-muslim-salat-jumat-150724m.html

28 Jun 2013

Sejarah Hak-hak Atas Tanah


Tujuan yang dikandung oleh hukum tidak terlepas dari siapa yang membuat hukum tersebut. Jika sebelum Bangsa Indonesia merdeka, sebagian besar Hukum agraria dibuat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda, maka jelas tujuan dibuatnya adalah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan penjajah. Hukum agraria yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria yang sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum agraria yang ada dan berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa sendiri masih bersifat Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia Belanda di Indonesia terdapat dualisme hukum yang menyangkut Hukum Agraria Barat, dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa yang merupakan pelaksanaan politik kolonial konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Politik liberal adalah kebalikannya dari politik konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Prinsip politik liberal adalah tidak adanya campur tangan pemerintah dibidang usaha, swasta diberikan hak untuk mengembangkan usaha dan modalnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena semakin tajamnya kritik yang dialamatkan kepada Pemerintah Belanda karena kebijakan politik agrarianya mendorong dikeluarkannya kebijakan kedua yang disebut Agrarisch Wet(dimuat dalam Staatblad 1870 Nomor 55).

Terkait dengan sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan hal-hal diatas, maka hak-hak atas tanah dapat dibedakan dalam 2 masa, yaitu masa kolonial (sebelum kemerdekaan) dan setelah kemerdekaan.

A. Masa Kolonial (sebelum kemerdekaan)

Hak-hak atas tanah yang ada pada masa kolonial ini, tentunya tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, diantara hak-hak yang diatur tersebut antara lain:
a. Hak Eigendom (hak milik); Pasal 570 KUH Perdata menyebutkan; Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh-penuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak menganggu hak hak orang lain; semua itu kecuali pencabutan eigendom untuk ke pentingan umum dengan pembayaran yang layak menurut peraturan-peraturan umum.
b. Hak Erfpacht (hak usaha); Hak erpacht  adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas benda orang lain. Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan, bahwa suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban memberi upeti tahunan. Disebutkan didalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun temurun, banyak diminta untuk keperlua pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.
c. Hak Opstal (hak numpang karang); Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan atau tanam-tanaman di atas tanah orang lain. Menurut Pasal 711 KUH Perdata disebutkan bahwa hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan orang lain.
B. Masa Setelah Kemerdekaan

1. Sebelum UUPA 
Hukum agraria sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum, dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan hak-hak atas tanah di Indonesia. 


Sifat dualisme Hukum Agraria kolonial ini meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
a) Hukumnya; Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yang meliputi:(a) Hukum Agraria Barat yang diatur dalam Bugerlijk Wetboek, Agrarische Wet, dan Agrarische Besluit; (b) Hukum Agraria Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing; (c) Hukum Agraria Swapraja yang berlaku didaerah-daerah Swapraja (seperti: Yogyakarta, Surakarta, dan Aceh); dan (d) Hukum Agraria Antar-Golongan (Agrarische Interdentielrecht) yaitu hukum yang digunakan untuk menyelesaikan hubungan-hubungan hukum dalam bidang pertanahan antar orang-orang pribumi dengan orang-orang bukan pribumi
b) Hak Atas Tanah; meliputi: (a) Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya  hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, Recht van gebruik (hak pakai), bruikleen (hak pinjam pakai); (b) Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yayasan, tanah kas desa, tanah gogolan, tanah pangonan (penggembalaan), tanah kuburan; (c) Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, misalnya hak agrarische (tanah milik adat yang ditundukkan diripada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah yang subjek hukumnya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing/ Tionghoa); (d) Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya grant sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh Pemerintah Swapraja khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor Pejabat Swapraja)
2. Setelah UUPA 
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai dasar bagi Hukum Agraria di Indonesia, maka problema dualisme pun teratasi. Alhasil, Negara Indonesia dapat berupaya semakin maksimal, guna mencapai apa yang menjadi tujuan Negara bagi kemakmuran Rakyat.

Hak-hak atas tanah diatur dalam UUPA pasal 2, pasal 4, pasal 16, pasal 20-46, pasal 50, pasal 53, pasal 55, dan ketentuan-ketentuan tentang konversi. Sehingga lahirlah kodifikasi hak-hak atas tanah yang lebih baik. Setelah adanya UUPA, hak-hak atas tanah di Indonesia pun mutlak menjadi milik Negara Indonesia. Dalam UUPA hak tanah mempunyai hierarki atau tingkatan.

Sumber:
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif  Sejarah, (Bandung Refika Aditama, 2007)


27 Jun 2013

Teori Pemidanaan



1. Teori Absolut (vergeldings theorien)
Teori Absolut atau Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).

2. Teori Relatif (doeltheorien)
Teori Relatif atau Teori Tujuan mengatakan  suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.
Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen (Wirjono Projdodikoro, 2003 : 26) terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.

Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.

3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)

Disamping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut antara lain (Hermien Hadiati Koeswadji, 1995 : 11-12):

1. Kelemahan teori absolut
Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada. 
Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?
 2. Kelemahan teori tujuan
Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan. 
Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan. 
Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.

Teori gabungan yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 : 36). Pompe menyatakan :
Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan (Andi Hamzah, 2005 : 36), ia menyatakan :
Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan (Andi Hamzah, 2005 : 37).

Teori gabungan yang kedua, yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.

Menurut Vos (Andi Hamzah, 2005 : 37) "Pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman."

Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana (Andi Hamzah,  2005 : 37).


Sumber:

Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata "pidana" pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan "pemidanaan" diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. 

1. J.M. Van Bemmelen

J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut:
Hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.(Leden Marpaung, 2005 : 2)
2. P.A.F. Lamintang

P.A.F. Lamintang  memberikan pengertian sebagai berikut: 
Tindak Pidana Materiil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang. (P.A.F. Lamintang, 1997) 

3. Sudarto

Sudarto memberikan pengertian dari tindak pidana materiil dan tindak pidana formil, yaitu sebagai berikut:
Tindak Pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Tindak pidana ini baru dianggap selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki (dilarang) tersebut benar-benar terjadi. Tindak Pidana Formil adalah merupakan tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana tersebut (tanpa Melihat akibatnya). (Sudarto, 1989)
4. Tirtamidjaja

Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil sebagai berikut:
Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim. (Leden Marpaung, 2005 : 2)

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materiil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil adalah aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materiil.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.

Sumber: 






11 Mei 2013

Mazhab Sejarah

Mazahab Sejarah dipelopori oleh Von Savigni. Mazhab ini sering juga disebut dengan historischrechtsshule. Mazahab ini sebagai reaksi terhadap hukum alam (hukum kodrat) yang berpandangan bahwa hukum kodrat itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi segala bangsa, tidak terikat tempat dan waktu.

Mazhab sejarah berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempat. Mazahab sejarah timbul sebagai reaksi terhadap semangat revolusi dan ekspansi Prancis.
Mazhab sejarah menitikberatkan pandangannya pada jiwa bangsa – volksgeist.

Bangsa di dunia ini beramacam-macam adanya, oleh karenanya jiwa dan kepribadiannya bermacam-macam pula. Jiwa bangsa menjelma dalam bahasa, adat kebiasaan, susunan kenegaraan dan hukum bangsa itu. Sebagaimana halnya bahasa, hukum tumbuh melalui suatu proses yang perlahan-lahan.

Hukum hidup dalam kesadaran bangsa, maka hukum berpangkal dalam kesadaran bangsa. Hukum bersumber pada perasaan keadilan yang naluriah yang dimiliki setiap bangsa. Namun tidak berarti bahwa jiwa setiap warga negara bangsa itu menghasilkan hukum, karena yang dapat berwujud hukum itu jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan berada dalam setiap individu dan menghasilkan hukum positif.

Timbulnya hukum positif tidak terjadi oleh akal mansia yang secara sadar memang menghendakinya, tetapi hukum positif itu tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa secara organik. Jadi tumbuh dan berkembangnya hukum itu bersama-sama dengan tumbuh dan berkembangnya suatu bangsa.

Tulisan ini saya ambil dari bahan ajar:
Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.

Sosiologi Hukum

Oleh: Prof. DR. Faisal A. Rani,S.H., M.H.

Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa objek telaah sosiologi hukum adalah hukum dari sisi tampak kenyataannya, yakni hukum sebagaimana dijalankan sehari-hari  oleh orang dalam kenyataan.

Maksudnya, yang dipelajari dalam disiplin ilmiah ini adalah kenyataan hukum dalam arti kenyataan kemasyarakatan berkenaan dengan adanya aturan hukum yang mencakup hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara hukum dan proses kemasyarakatan.

Jadi, di satu satu pihak mempelajari semua akibat, yang dimaksudkan maupun yang tidak dimaksudkan, yang diinginkan maupun yang tidak, yang ditimbulkan oleh kaedah hukum dalam kenyataan kemasyarakatan. Di lain pihak, semua akibat proses kemasyarakatan yang mendukung maupun melemahkan atau membelokkan proses pembentukan dan penerapan hukum.

Dengan demikian sosiologi hukum dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berdasarkan analisis teoretis dan penelitian empiris berusaha menetapkan dan menjelaskan pengaruh proses kemasyarakatan dan perilaku orang terhadap pembentukan, penerapan, yurisprudensi dan dampak kemasyarakatan antara hukum, dan sebaliknya pengaruh aturan hukum terhadap proses kemasyarakatan dan perilaku orang.

Satjipto Rahardjo, C.J.M. Schuit, P. Vinke dan sosiolog lainnya pada umumnya mengemukakan bahwa penelitian hukum secara sosiologis tentang sistem hukum, tentang lembaga hukum dan organisasi dengan jabatan yang ada di dalamnya, tentang yustiabel, tentang asas hukum, dan pengertian-pengertian fundamental dalam hukum.

Satjipto Rahardjo mengungkapkan 3 karakteristik sosiologi hukum:
Pertama, bertujuan memberikan penjelasan terhadap praktek hukum dengan menjelaskan mengapa praktek hukum itu demikian, apa sebabnya, apa faktor yang mempengaruhi, apa latar belakangnya, dan sebagainya. Dengan mengikuti Max Weber, penjelasan tentang perilaku orang berkenaan dengan berlakunya aturan hukum itu mencakup baik segi eksternalnya maupun segi internalnya (motif perilaku).
Kedua, sosiologi hukum selalu menguji kesahihan empiris aturan atau kenyataan hukum.
Ketiga, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, melainkan hanya memberi penjelasan apa adanya dalam kenyataan, dan demikian mendekati hukum dari segi objektivitas semata.
Bruggink mengemukakan adanya dua jenis (aliran, “stroming”) dalam sosiologi hukum, yakni:
  1. Sosiologi hukum empiris (erklaerende soziologie); 
Dengan bertolak dari titik berdiri eksternal dan mengacu kepada teori kebenaran korespondensi, mengkompilasi dan menata material objek-telaahnya (perilaku orang dan kelompok orang) untuk kemudian dengan metode kuantitatif menarik dari dalamnya kesimpulan2 tentang hubungan antara kaidah atau aturan hukum dengan hubungan kemasyarakatan.
Metode yang digunakan mendekati metode yang digunakan dalam ilmu alam. Tujuannya untuk menghasilkan produk penelitian semurni atau seobjektif mungkin, sehingga mampu menciptakan gambaran (deskriptif) setepat mungkin tentang kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya berfungsi aturan hukum positif. Produknya sedapat mungkin dituangkan ke dalam proposisi informatif yang terbuka untuk diverifikasi empiris. Penuangan ke dalam proposisi normatif atau evaluatif dihindari, karena dipandang non-kognitif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris sehingga tidak dapat digunkan dalam suatu teori empiris. Para sosiolog hukum empiris pada umumnya termasuk dalam aliran positivisme (aliran filsafat pengetahuan).
      2.  Sosiologi hukum kontemplatif (verstehende soziologie).
Dianut pendirian bahwa untuk dapat mengatakan sesuatu secara bermakna tentang masyarakat dan kaidah-kaidah hukum yang berperan penting di dalamnya, maka orang harus menjadi bagian dari masyarakat itu dan akrab dengan kaidah hukum yang berfungsi di dalamnya. Ini berarti bahwa penelitian sosiologis tentang hukum harus bertolak dari titik berdiri internal, yakni dari sudut perspektif partisipan pada masyarakat dan kehidupan hukumnya yang menjadi objek telaah.
Jenis sosiologi ini mengacu kepada teori kebenaran pragmatik. Produk penelitiannya dituangkan ke dalam proposisi baik informatif maupun normatif dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan produknya dikaji melalui diskursus intersubjektif.

Mazhab Sosiologis

Mazhab ini dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Max Weber, Hammaker. Hukum itu sebenarnya hasil pertentangan-pertentangan dan hasil perimbangan antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi sosial, perkembangan ekonomi, dan pertentangan serta pertimbangan kepentingan-kepentingan golongan atau kelas dalam masyarakat.

Ilmu hukum tidak dapat hanya berdasarkan analisa logika saja terhadap kaedah hukum, melainkan juga harus menggunakan pendekatan secara sosiologis. Sosiologi adalah ilmu pengtahuan yang menyelediki hubungan antara gejala masyarakat yang satu dg gejala masyarakat yang lain. Sedangkan ilmu hukum menurut mazhab sosiologis, adalah memberikan suatu gambaran tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat. Jadi hukum adalah gejala masyarakat.

Hukum bukan norma tetapi kebiasaan manusia yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya di dalam masyarakat. Maka dengan demikian hukum itu merupakan fakta atau petunjuk yang mencerminkan kehidupan masyarakat. Guna memahami kehidupan hukum dari suatu masyarakat maka seorang ahli hukum harus mempelajari perundang-undangan, keputusan pengadilan dan kenyataan sosial.

Hukum itu tidak  perlu diciptakan oleh negara, karena hukum sebenarnya tidak merupakan pernyataan-pernyataan tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan golongan dalam masyarakat. Hakim bebas dalam menggali sumber-sumber hukum yang terdapat dalam masyarakat, yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat. Oleh karenanya mazhab sosiologis disebut juga mazhab hukum bebas  atau freie rechtsschule.

Menurut Eugen Ehrlich, berlakunya hukum tergantung pada penerimaan masyarakat, dan sebenarnya tiap masyarakat menciptakan sendiri hukumnya yang hidup. Daya kreativitas masing-masing golongan berbeda dalam penciptaan hukumnya. Dari kenyataan tersebut, faktor masyarakat sangat penting untuk mengetahui efektifitas hukum dalam masyarakat. 

Menurut Leon Duguit, berlakunya hukum itu sebagai suatu realita bahwa ia diperlukan oleh manusia yang secara bersama hidup dalam masyarakat. Hukum bukan tergantung pada kehendak penguasa melainkan tergantung pada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari para anggota masyarakat untuk mentaati hukum. Suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif.

Menurut Duguit, pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum, karena pembentuk undang-undang tugasnya hanya mentransformasikan saja hukum yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.

Tulisan ini saya ambil dari bahan ajar:
Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.